Kamis, 02 Juni 2011

Aristoteles dan Buddha...


Oleh Indra Gunawan M*
Dua nama ini adalah orang besar dalam sejarah. Aristoteles, hidup sekitar 300 tahun sebelum Masehi, adalah filsuf yang bersama Socrates dan Plato meletakkan dasar-dasar filsafat Barat. Pandangan Aristoteles jadi dogma filsafat skolastik.
Sementara Siddharta Gautama adalah pangeran yang meninggalkan istana untuk menghayati derita dan duka kehidupan. Lewat kontemplasi dan semadi berkepanjangan di bawah pohon bodhi, ia jadi orang yang tercerahkan (Buddha). Ia hidup sekitar 200 tahun sebelum Aristoteles.
Kedua tokoh mempunyai sistem kepercayaan dan logika berbeda dalam memandang persoalan. Menarik mengkaji pendekatan mereka terhadap berbagai persoalan aktual, khususnya yang kontroversial, seperti kasus Bibit-Chandra, Anggodo, Antasari, Century, Sri Mulyani, atau Susno Duadji.
Adapun kajian ”Fuzzy Logic” atau ”Logika Samar” (baca misalnya ”Fuzzy Thinking”, Bart Kosko, Hyperion, 1993) coba mengontraskan perbedaan kedua pendekatan. Dalam pandangan dunia, Aristoteles yang dikenal adalah bivalensi, dua nilai, benar atau salah, hitam atau putih, positif atau negatif, siang atau malam, A atau bukan A.
Tidak ada tempat untuk semu atau abu-abu, perbauran di antara keduanya. Sementara logika Buddha menerima adanya multivalensi atau banyak nilai. Di antara putih sampai hitam ada sekian banyak kemungkinan gradasi warna. Dari nol hingga angka satu ada begitu banyak bilangan pecahan yang menggambarkan berbagai derajat perkembangan.
Ada celah yang sukar disebut siang atau malam di tengah remangnya senja atau samarnya fajar. Logika Aristoteles lebih dominan diterima di Barat. Mereka lebih menghargai kepastian di tengah ketidakpastian seperti dalam aritmatik sederhana (2+2>4) dan kurang menghargai kontradiksi atau paradoks.
Namun, tak semua orang Barat berpikir dalam kerangka dikotomi. Misalnya, Heraclitus, filsuf Yunani yang hidup 500 sebelum Masehi. Ia dikenal dengan ucapannya, ”Segala sesuatunya berubah, kecuali perubahan itu sendiri”.
Sebagian perubahan dapat diprediksi, sebagian lain berlangsung acak, tak dapat dipahami atau dikenali. Epigram lain, ”Segala yang bertentangan mendatangkan manfaat” atau ”Jalan turun dan jalan naik adalah satu dan sama”. Atau Einstein yang pernah mengutarakan, ”Sejauh hukum matematika menunjuk ke realitas, maka dia tidak pasti. Dan sejauh dia pasti, dia tak merujuk ke realitas”. Logika samar tampak dalam ungkapan di atas.
Simplisitas atau akurasi
Logika Buddha ”Fuzzy Logic” lebih dulu dikenal di dunia Timur. Selain dalam ajaran Buddha, juga ditemukan pada Zen dan Taoisme yang menyukai teka-teki dan paradoks kehidupan. Yin dan Yang bukan sekadar dua hal berbeda, melainkan satu keniscayaan yang saling melengkapi, komplementer. Dalam Yin terdapat Yang dan sebaliknya.
Oleh pengaruh pendidikan yang diterima di sekolah, kebanyakan kita lebih terbingkai dalam logika Aristoteles. Kita perlu pegangan atau kepastian di tengah kegalauan agar hidup lebih lancar. Kalau perlu persoalan disederhanakan untuk menghindari keruwetan yang tak perlu. Buat sebagian, di mana persoalan sudah terang benderang seperti dalam aritmatika sederhana, sikap itu dapat dibenarkan.
Namun, untuk persoalan kompleks dan penuh kontroversi seperti contoh di atas (Bibit-Chandra, Susno Duadji, Sri Mulyani, dan sebagainya) pendekatan komprehensif dari berbagai kajian lebih menghasilkan presisi.
Sikap tak berpihak, obyektif untuk menemukan akurasi dengan berpegang pada kepentingan umum agaknya perlu dikedepankan. Yang jadi persoalan, kata ”kepentingan umum” sudah diklaim para pihak yang bersengketa. Kalau kita mulai memahami logika Buddha, tampaknya orang tak akan mudah terjebak dalam dikotomi yang gencar dikembangkan sebagian politisi.
Mereka lewat ”layar kaca” (TV) atau media lain berusaha membentuk opini publik berdasar sikap subyektif, apriori, perasaan suka atau tak sukanya. Sudah tentu argumentasinya dibungkus lewat ”data” dan ”fakta” yang disaring lewat kacamata kelompoknya sendiri.
Dengan ”Fuzzy Logic”, kita akan lebih teliti dan kritis mengikuti rekam jejak mereka yang memakai standar ganda. Di satu pihak, mereka lantang menyerukan berantas korupsi khususnya yang disangkakan terhadap lawan politiknya. Sementara di pihak lain, mereka kuncup atau diam seribu bahasa jika tuduhan menimpa kelompoknya.
Secara ringkas, bivalensi dalam Aristoteles bertumpu pada dua pilihan ”ini” atau ”itu”. Ibarat sebuah film, pelaku lelakonnya terbagi hanya dua: ”orang baik” dan ”orang jahat”. Sementara multivalensi dalam Logika Samar mencoba melihat nuansa-nuansa dalam menangkap kebenaran ada ”orang baik tetapi ada cacatnya” dan ”orang jahat tetapi ada segi baiknya”. Tak ada yang sempurna.
”Fuzzy Logic” ini tak hanya bergerak di tataran teori, sistem kepercayaan atau filsafat, melainkan membumi terkait dunia praktis yang menghasilkan produk-produk. Lewat prinsip dan sistem ”Fuzzy Logic”, sejumlah perusahaan seperti Matsushita, Mitsubishi, Sharp, Hitachi, Samsung, dan Daewoo telah mampu menghasilkan produk yang sanggup melakukan penyesuaian, tidak terbatas pada dua pilihan.
AC yang bekerja terlalu lama dan kelewat dingin akan otomatis berhenti sementara untuk kemudian menyala kembali kalau suhu naik melewati ambang batas yang ditentukan. Atau mesin cuci yang mampu secara adaptif menyelaraskan diri sesuai tingkat kekotoran, jenis tekstil, serta beban dan volume pakaian yang harus dibersihkan.
Tampaknya, ”Fuzzy Logic” adalah pendekatan menarik dan penting dalam mengubah pola pikir bukan saja dalam mencari kebenaran kasus, melainkan juga dalam menciptakan produk inovatif yang lebih canggih dan lebih bermutu.
*Indra Gunawan M, Penulis Buku Kisah-Kisah Kebijaksanaan Zen
//sumber kompas.com

Rabu, 01 Juni 2011

Eksistensi Tuhan di Dalam Manusia...

Oleh Agni Rahadyanti

Tiap manusia umumnya tak memungkiri bahwa keberadaannya di dunia ini tak terlepas dari campur tangan Tuhan, Sang Pencipta yang membuatnya ada. Kemanusiaannya pun menjadi sempurna ketika hidup menyatu dengan alam, dunia di sekitarnya. Namun, seiring perjalanan hidupnya, manusia tak selamanya mampu merasakan kehadiran Tuhan.
Eksistensi Tuhan pun terus dipertanyakan. Kesengsaraan. Itulah situasi yang tampaknya paling banyak membuat manusia mempertanyakan keberadaan Tuhan yang dalam ajaran berbagai agama begitu diyakini sebagai pengayom, pelindung, dan pengatur hidup manusia. Orang akan bertanya, di mana Tuhan ketika penderitaan menimpaku? Mengapa Tuhan tidak menolong ketika bencana datang?
Pertanyaan lebih kritis yang sering didiskusikan dalam pembahasan- pembahasan teologis adalah mengapa orang-orang baik harus mengalami kejahatan? Mengapa orang benar yang saleh harus tersiksa hidupnya? Ambil contoh, mengapa Tuhan tidak menyelamatkan semua penumpang yang ada dalam pesawat Garuda yang mengalami kecelakaan hebat di Yogyakarta tahun lalu. Atau, penduduk di berbagai wilayah Jawa Timur mana yang bisa memilih untuk tidak terseret arus banjir atau tertimbun tanah longsor akhir tahun lalu.
Semua orang bisa terkena musibah, tidak peduli latar belakang sosial atau bagaimana kehidupannya sehari-hari. Tindak kriminal seperti perampokan, pembunuhan, atau pemerkosaan tidak hanya menimpa orang jahat saja. Para pejuang yang punya dedikasi bagi dunianya, sebut saja Mahatma Gandhi, atau bahkan Munir, tewas dibunuh. Balasan yang rasanya tak setimpal dengan apa yang sudah mereka berikan semasa hidup.
Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Budhi Munawar Rachman berpendapat, Tuhan sama sekali tidak terlibat dalam segala kejadian buruk yang menimpa manusia. Terinspirasi dari berbagai materi perkuliahan yang didapatnya dari profesor filsafat dan ahli teologi Louis Leahy di STF Driyarkara, Budhi menyusun pendapatnya itu dalam tulisan Tuhan dan Masalah Penderitaan, yang terdapat dalam buku Dunia, Manusia, dan Tuhan yang diterbitkan oleh Penerbit Kanisius tahun 2008. Menurut Budhi, dalam kehidupannya manusia perlu menyadari bahwa hukum alam yang melingkupinya bukan hanya memberi kesan keteraturan, melainkan juga bisa menyebabkan malapetaka bagi manusia.
Ia mencontohkan, hukum gravitasi juga bisa menyebabkan penduduk yang sedang berada di pantai terempas dan meninggal akibat tsunami, seperti yang terjadi di Aceh atau di pantai-pantai lain di Asia. Kita tidak bisa hidup tanpa gravitasi dan hukum-hukum alam lainnya, tetapi hidup dengan hukum alam berarti kita juga dikelilingi begitu banyak bahaya yang menyebabkan penderitaan, kata Budhi dalam tulisannya.
Di sisi lain, manusia memiliki kebebasan untuk mengelola kehidupannya sendiri. Tuhan pun membebaskan manusia untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, seperti yang diyakini Leahy sebagai kekhasan etika agama monoteistik. Hal tersebut menimbulkan dua konsekuensi, yaitu Tuhan tidak akan mencampuri kehidupan manusia agar manusia benar-benar memiliki kebebasan. Manusia pun bebas untuk memilih merusak dirinya sendiri. Sebagai makhluk yang merdeka secara moral, manusia juga bertanggung jawab atas kehidupan yang sudah diberikan kepadanya. Leahy juga percaya bahwa Tuhan selalu ada, bahkan dalam berbagai bencana alam yang menyengsarakan manusia. Tuhan prihatin dengan musibah alamiah tersebut, tetapi tidak bisa ikut campur.
Ia sudah memberi kebebasan kepada hidup manusia dan memberikan hukum alam yang membuat hidup ini bisa teratur, manusia bisa terus belajar berbuat kebaikan, mengembangkan diri, dan merealisasi apa yang menjadi tujuan hidupnya, tutur Budhi mengutip pendapat Leahy. Seperti ungkapan yang diyakini banyak orang Jawa, Gusti ora sare. Tuhan tidak tidur ketika manusia menjalani semua kehidupannya. Persepsi manusialah justru yang menentukan pemaknaan keberadaan Tuhan. Psikologi rasa bersalah yang berkembang dewasa ini terkadang juga menambah penderitaan manusia. Sering kali manusia menyalahkan diri sendiri secara berlebihan atas segala musibah yang menimpanya.
Tak jarang manusia menciptakan sendiri rasa bersalah, amarah, kecemburuan, iri hati, maupun dengki yang semakin menambah kesengsaraannya. Satu hal yang menarik, keberadaan Tuhan sering kali tidak dipertanyakan ketika manusia berada dalam situasi yang membahagiakan. Tuhan acap kali tak masuk hitungan ketika manusia terlalu berfokus pada kemampuan diri sendiri. Kebahagiaan yang bahkan begitu mudah ditemukan ketika ungkapan syukur dipanjatkan pun akan senantiasa terlewat.
Selain penderitaan manusia tak bersalah yang sering disebut sebagai masalah kejahatan dalam Filsafat Ketuhanan, Dunia, Manusia, dan Tuhan juga menyertakan 11 esai lainnya yang ditulis khusus untuk mengapresiasi pemikiran Louis Leahy dan merayakan ulang tahunnya yang ke-80, 19 Agustus tahun lalu. Berbagai hal, seperti hubungan antara lingkungan hidup dan teologi, sains dan agama, sesuatu yang tersembunyi di balik fenomena empirik dan intramundan dari jagat raya, filosofis manusia, pandangan keimanan manusia, dan pemikiran filsafat eksistensialisme dalam merefleksikan pengalaman akan Allah dituangkan 12 penulis dalam buku setebal 293 halaman ini.
Selain Budhi Munawar Rachman, penulis lain yang menyumbangkan karyanya adalah Martin Harun, Zainal Abidin Bagir, J Sudarminta, Karlina Supelli, M Sastrapratedja, SP Lili Tjahjadi, Franz Magnis Suseno, A Sunarko, Martin L Sinaga, Alex Lanur, dan Thomas Hidya Tjaja.
Meski membicarakan berbagai pemikiran filsafat dalam bahasa akademis yang terkadang kurang familier bagi masyarakat awam, buku ini bisa menjadi media penambah wawasan bagi mereka yang ingin berkenalan dengan filsafat. Buku ini juga menarik karena mengajak pembaca memahami dirinya serta kemanusiaan manusia itu sendiri. 
//sumber kompas.com

Selasa, 31 Mei 2011

Kekuatan yang Harus Tunduk pada Akal

oleh; M Said Marsaoly
Dari mana sebenarnya kebenaran bersumber? Dari kenyataan atau dari satu dunia di atasnya? Benarkah imajinasi menjadi sumber dasarnya? Lalu di mana akal, di mana pengetahuan? Benarkah ”imajinasi lebih penting dari pengetahuan”?
Ruang imajinatif memang telah menjadi kamar tersendiri dalam rumah besar bernama pengetahuan. Baik rumah yang berfondasi indera maupun yang berdasar rasio. Seluruhnya menerima imajinasi sebagai anak kandung yang amat disayangi bahkan selalu dipuji dan diagungkan. Namun, sekali lagi, benarkah karena itu imajinasi lebih penting dari pengetahuan?
Tulisan ini memang tergelitik oleh tulisan lain di rubrik ini, dari Bagus Takwin (Kompas, 6/12/2008) yang meminjam ungkapan Einstein, ”imajinasi lebih penting dari pengetahuan”. Tulisan yang seakan telah merepresentasikan teori masyhur Einstein, E=mc². Bahwa, menurut Takwin, imajinasilah yang membawa Einstein pada pemahaman tentang relativisme gerak. Kita akan periksa ini.
Tempat istimewa
Imajinasi memang telah mendapat tempat yang istimewa dalam kesusastraan dan seni. Namun meletakkan imajinasi sebagai instrumen memperbarui kebenaran adalah hal yang (memiliki konsekuensi) tersendiri. Dari mana sebenarnya asal kebenaran? Dengan instrumen apa manusia mengenali kebenaran? Dan apakah kebenaran mengalami perubahan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah menyedot perhatian berbagai kalangan dari dulu hingga kini dan ”kebenaran” tinggal menjadi misteri filsafat hingga saat ini. Hal itu akan semakin kompleks bahkan khaotis bila pengetahuan manusia tidak mampu membedakan antara konsepsi dan afirmasi (gagasan dan penilaian). Dalam filsafat Islam, keduanya dikenal dengan tasawwur dan tasdiq.
Bukankah dua persoalan itu telah menelurkan dua gagasan besar dalam jagat filsafat? Dan bukankah munculnya rasionalisme dan empirisme terbukti tidak mampu keduanya sebagai sumber pokok pengetahuan.
Imajinasi menuju persepsi
Dalam epistemologi, imajinasi ditempatkan pada urutan kedua setelah indera sebagai perangkat dasar pengetahuan. Hal itu disebabkan imajinasi tidak dapat berdiri sendiri. Imajinasi dapat bekerja setelah indera mempersepsi obyek tertentu. Obyek itu kemudian tersimpan dalam benak manusia dalam bentuk imateriil.
Karena itu, imajinasi hanya dapat mendeskripsikan sesuatu meskipun indera telah terputus dari realitas material. Namun, ia tidak dapat menetapkannya sebagai sebuah pengetahuan baru. Maka, proses kreativitas manusia dalam dunia obyek (world of objects) adalah kesimpulan dan ketetapan akal bukan imajinasi.
Misalnya, pertanyaan kita kenapa burung dapat terbang? Pertanyaan ”kenapa” adalah ciri akal-rasional. Bukankah dalam imajinasi tidak dapat menetapkan kausalitas? Ia adalah konsepsi primer yang muncul dalam akal.
Dalam tradisi pemikiran Islam biasanya diterima tiga tingkat pemikiran manusia. Dan rasionalitas atau logika ada di tingkat pertama. Yang kedua adalah hal yang bersifat spiritual, rohaniah. Yang ini terkait dengan perasaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan. Di antara keduanyalah terletak imajinasi.
Filosof seperti Mullah Sadra (1571-1640) menyebut, persepsi tentang dunia fisik eksternal, penglihatan misalnya, terjadi ketika jiwa mempersepsi. Kemudian jiwa menciptakan bentuk imateriil yang sama dengan obyek eksternal melalui iluminasi akal aktif, ketika organ penglihatan dan segala kondisi yang dipersyaratkan terpenuhi. Bentuk ini kemudian hadir dalam jiwa perseptif: jiwa memahami melalui pengetahuan akan kehadiran (Inggris: Knowledge by presence, Arab: Al-’ilmu Al-Huduri). Artinya: jiwa memahami dengan kesadaran.
Kehadiran itu seperti perbuatan bagi seorang pelaku. Bentuk yang diciptakan oleh jiwa ini tidak selamanya hanya menjadi penyempurnaan sekunder, tetapi selanjutnya justru jiwa ”menjadi” bentuk tersebut. Jiwa berubah dari tidak mengetahui menjadi mengetahui (al-hikmah Al-muta’aliyyah, Vol 9 halaman 285).
Imajinasi dan akal-rasional
Imajinasi rasional-logis oleh filosof Muslim biasanya disampaikan lewat bahasa yang mengandalkan pada tata bahasa (grammar) yang teratur dan urut-urutan logis. Yang spiritual, kata sebagian orang—termasuk Al-Ghazali—tak bisa diungkapkan secara rasional. Namun, beberapa sufi tertentu mencoba mengungkapkannya.
Termasuk di dalamnya yang amat terkenal dan produktif dalam mengungkapkan perasaan-perasaan keagamaannya adalah Ibn ’Arabi.
Terkait relasi imajinasi dan akal-rasional, Muhammad Baqir Sadar (1935-1980) dalam bukunya, Falsafatuna—setelah mengulas pendapat para filosof mengenai perbedaan sumber-sumber pokok pengetahuan—menyajikan sebuah teori yang khas dalam filsafat Islam yang disebut ”Teori Disposesi” (nazhariyyah al-intiza’).
Teori ini terangkum dalam pembagian konsepsi primer dan sekunder. Konsepsi primer adalah dasar konseptual bagi akal manusia. Ia lahir dari persepsi inderawi secara langsung beserta segala hal yang dikandungnya. Misalnya konsepsi kita tentang rasa, warna, bau, panas, dan lain-lain. Bagi Baqir Sadar, persepsi inderawi menjadi awal munculnya konsepsi itu. Ia menciptakan ide tentang hal itu dalam akal manusia.
Baqir Sadar percaya bahwa dari ide-ide tersebut terbentuklah kaidah pertama (primer) tentang konsepsi. Dengan dasar itu, akal kemudian memunculkan konsepsi sekunder. Dengan demikian, mulailah daur penciptaan inovasi dan konstruksi. Inilah yang diistilahkan dengan kata intiza’ (disposesi). Dalam kalimat lain, teori disposesi adalah pertemuan fakta obyektif dengan konsep akal.
Lalu di manakah posisi imajinasi? Imajinasi berada di antara keduanya. Ia menjadi sumber konstruksi, tetapi bukan ia sendiri yang mengonstruksi kebenaran. Kebenaran hanya dapat dikonstruksi oleh akal.
Wilayah imajinasi ada dalam dunia ide, bukan pada fakta obyektif. Karena itu, kebenaran saintifik dan kebenaran imajinatif amat jauh berbeda. Namun bukan berarti keduanya tidak dapat bertemu.
Pertemuan keduanya terjadi di dunia imajinasi, sementara dalam dunia obyektif indera dan akallah yang bekerja sama. Di sinilah terjadi ”generalisasi” sebagai output yang saintifik. Dan bukankah ”generalisasi” itu sendiri adalah simpulan akal?
Itulah sebabnya para filosof Muslim percaya bahwa daya imajinasi harus ditempatkan di bawah kendali daya rasional. Jika dilepaskan dari daya rasional, daya imajinasi berisiko kehilangan kendali dan sekaligus kehilangan akses kepada realitas otentik yang ada di alam imajinasi.
//sumber kompas.com

Kamis, 11 November 2010

Rokok sebagai Penjara Jiwa, Telaah dari Filsafat Plato


 Oleh:Kristoforus Sri Ratulayn K.N.
Mahasiswa Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Tulisan dari Ryadi, Agustinus (ed), Filsafat dan Hal-hal yang Belum Selesai, Sang Timur, Surabaya, 2010.


Bagi sebagian besar orang, rokok telah menjadi kebutuhan yang bahkan disamakan dengan kebutuhan untuk makan dan minum. Kebutuhan akan rokok sudah menjadi kebutuhan yang sangat sentral. Mereka disebut sebagai perokok berat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa rokok telah menjadi “istri” kedua mereka. Dengan demikian bisa kita katakan bahwa kebutuhan akan rokok selalu menuntut seorang perokok untuk mencari dan menghisapnya. Tentu banyak faktor yang harus kita lihat dalam membicarakan masalah ini. Namun dalam pembahasan ini, kita akan melihat bagaimana kebutuhan akan merokok dikritisi atau ditinjau dari sisi filsafat.
Masalah yang ingin dibahas dalam tulisan ini adalah melihat bagaimana kebutuhan tubuh akan rokok jika ditinjau dari sisi filsafat? Kemudian mengkaitkan dengan tema ketidak bebasan macam apa yang ada dibalik fenomena rokok, yang tentunya juga dilihat dari sisi filsafat. Latar belakang pengambilan tema rokok dan kebebasan sebagai bahan penelitian awalnya karena terinspirasi dari mulai maraknya perdebatan tentang rokok, khususnya jika melihat ramainya perdebatan pro-kontra mengenai keputusan dikeluarkannya peraturan daerah tentang larangan merokok. Berdasarkan penjelasan di atas, menjadi jelas bahwa rokok yang sudah menjadi sebuah kebutuhan manusia akhirnya harus berbenturan dengan kewajiban sebagai anggota sebuah masyarakat.
Penulis memiliki sebuah argumen guna menuntun alur pembahasan yang ada dalam tulisan ini. Argumen penulis adalah bahwa dengan merokok, manusia tidak bebas. Penulis akan membagi pembahasan tulisan ini dalam tiga bagian. Pertama, kita akan melihat bagaimana ajaran Plato tentang tubuh dan jiwa. Pada bagian pertama ini kita akan melihat secara detail teori Plato tentang tubuh dan jiwa dari beberapa sumber acuan. Kedua, analisis dengan mengacu pada teori Plato tentang tubuh dan jiwa dengan kaitannya dalam kebutuhan manusia akan (me)rokok. Dengan kata lain kita akan langsung mensintesakan teori Plato tentang tubuh dan jiwa pada bagian pertama tadi dengan analisis gejalah yang terjadi ketika orang mengkonsumsi rokok. Kemudian pada bagian terakhir, ketiga, nantinya adalah sebuah kesimpulan, bahwa rokok merupakan kebutuhan tubuh yang memenjarakan jiwa manusia.

Kerangka Teori
Teori Plato tentang Tubuh dan Jiwa Manusia
Plato (429-437), seorang filsuf terbesar dalam sejarah filsafat Yunani Kuno, lahir dalam sebuah keluarga terkemuka di Athena. Ayahnya bernama Ariston dan ibunya bernama Periktione.[1] Ia adalah salah seorang teman diskusi Sokrates. Plato menjadi salah seorang filsuf terbesar sepanjang sejarah filsafat, karena ia membuka tema-tema pembicaraan abadi dalam filsafat. Bahkan sampai muncul sebuah argumen bahwa filsafat selanjutnya hanyalah catatan kaki dari filsafat Plato[2].
Semasa hidupnya ia sangat produktif dalam hal menulis. Semua tulisannya selalu berbentuk dialog. Hal ini karena mungkin dipengaruhi oleh Sokrates yang terkenal sangat membenci tulisan. Sehingga akhirnya Plato pun akhirnya mencoba membuat sebuah sintesis antara tulisan dan lisan. Beberapa karya utamanya dalam filsafat mencakup Protagoras, Gorgias, Meno, Apology, Phaedo, Crito, Republic, Parmenides, Theatetus, Sophist, dan, laws[3].
Ajaran filsafat Plato yang terkenal adalah mengenai ide-ide dan tentang dualisme dari manusia. Bagi Plato kenyataan sesungguhnya hanya ada dalam dunia. Sedangkan realitas yang ada di dunia hanyalah sekedar bayangan dari ide-ide[4]. Ajaran Plato mengenai ide-ide juga diterapkan dalam ajarannya mengenai dualisme manusia.
Dualisme Plato memandang bahwa manusia terdiri dari dua hakikat yang berlainan, tubuh dan jiwa. Tubuh mempunyai sifat yang rapuh, mudah berubah, dan tidak tetap. Hal ini nantinya sejalan dengan perbandingan antara ide-ide abadi dengan realitas di dunia yang selalu berubah.  Sedangkan jiwa adalah sesuatu yang kasat mata, tetap dan abadi. Plato berargumen karena jiwa mampu mengenali ide-ide, maka jiwapun mempunyai sifat-sifat yang sama dengan ide-ide. Jiwa selalu mempunyai kerinduan untuk mencapai kearifan dan kebijaksanaan.
Bagi Plato tubuh adalah kuburan bagi jiwa (soma-sema). Dalam artian, jiwa sudah ada di suatu tempat yang penuh dengan kearifan sebelum dilahirkan. Dunia inilah tempat kediaman jiwa yang sesungguhnya. Pada suatu ketika jiwa mengalami inkarnasi dan masuk ke dalam tubuh. Jadi dunia yang sekarang ditempati jiwa ketika masuk ke dalam tubuh bukanlah tempat tinggal jiwa[5]. Hal inilah yang menjadi penegas dari dualime Plato.
Tubuh yang mempunyai sifat rapuh, tidak tetap, dan selalu berubah menjadi penghalang bagi jiwa untuk mencapai kearifan dan kebijaksanaan. Karena sifatnya yang tidak tetap dan selalu berubah itulah muncul argumen dari Plato bahwa tubuh akan “membingungkan” manusia dalam usaha mencari kebenaran[6].
Kerinduan jiwa adalah terbebas dan pulang kembali memasuki dunia ide-ide Menurut Plato berfilsafat berkaitan hanya dengan pikiran atau jiwa. Untuk hal tersebut manusia harus berusaha sebisa mungkin melepaskan diri dari belenggu tubuh yang memenjarakannya. Memenjarakan berarti menuntut manusia untuk selalu memenuhi kebutuhan tubuh, bersenang-senang dan “memuja” tubuh.
Dalam bukunya yang berjudul Faedo, Plato menambahkan bahwa yang diperlukan untuk memasuki kawasan entitas ide-ide hanyalah jiwa. Sedangkan jiwa bernalar paling indah, ketika tidak satu pun dari hal-hal yang ragawi, seperti pendengaran, penglihatan, duka cita ataupun kesenangan, menghalanginya untuk mencapai kebenaran. Dengan meninggalkan tubuhnya manusia akan mampu menemukan hakikat segala sesuatu[7]. Seperti sudah kita ketahui bahwa tubuh mempunyai sifat mengarahkan seseorang untuk mencari kesenangan, misalnya makan dan minum. Manusia yang terlalu terpengaruh oleh tubuh akan menjadi pemuja tubuh. Inilah yang sungguh menjadi penghambat bagi jiwa untuk mampu bernalar hingga mencapai kearifan dan kebijaksanaan.
Berikut sebuah kutipan dari salah satu karya Plato yang berjudul Faedo, yang menyatakan secara jelas bagaimana Plato menyangkali peran konstruktif apapun dari tubuh manusia dalam usaha mencapai kebenaran yang hakiki:
“Selama kita memiliki tubuh yang menemani argumen yang kita kembangkan dalam penyelidikan kita, dan jiwa kita tercampur dengan hal jahat semacam ini, kita tidak akan pernah mendapatkan apa yang kita inginkan”[8].
Kita bisa mengambil sebuah contoh yang kiranya dapat membantu kita untuk lebih mudah memahami ajaran Plato tentang tubuh dan jiwa, khususnya berkaitan dengan tubuh sebagai penghalang jiwa mncapai kebijaksanaan. Suatu ketika seorang mahasiswa mengalami sakit panas yang memaksanya harus beristirahat untuk beberapa minggu. Padahal ia harus belajar dan memahami materi ujian yang akan dia hadapi. Dengan demikian nampak secara langsung bahwa tubuh menghalangi jiwa untuk bernalar dan mencapai kebijaksanaan.

Analisis Tema
Pada bagian ini kita akan mengulas lebih dalam mengenai kebutuhan akan merokok dengan kebebasan. Dimana letak hubungan antara rokok dan tubuh sehingga dikatakan menjadikan tidak bebas?
Jelaslah bahwa rokok adalah kebutuhan tubuh. Tubuhlah -yang karena efek nikotin- membuat manusia ketagihan untuk mengkonsumsinya. Jika tidak merokok dalam waktu lama, tubuh akan mengalami kesemutan di lengan dan kaki, berkeringat dan gemetar, gelisah, susah konsentrasi, sulit tidur, lelah atau pusing. Bahkan terkena resiko-resiko penyakit seperti penyakit jantung, kanker paru-paru, osteoporosis, katarak, dan masih banyak lagi.[9] Dengan bahasa lain kita bisa mengatakan, bahwa seorang pecandu rokok harus menghisap rokok secara rutin. Rokok adalah kebutuhan tubuh.
Tubuh yang sudah mulai kecanduan rokok selalu menuntut pemilik tubuh tersebut untuk selalu menghisapnya. Orang menjadi tidak bebas lagi untuk menguasai tubuhnya. Entah tiap jam atau menit tubuh memerlukan rokok untuk “menstabilkan” kondisinya. Artinya menjadi semacam sebuah pelarian sementara untuk menenangkan diri bagi mereka yang sudah kecanduan rokok.[10] Jika mau dilihat dari sisi psikologis, maka mungkin dari sini juga bisa disimpulkan orang menjadi tidak bebas lagi.
Setelah kita melihat teori Plato tentang tubuh dan jiwa, lalu membuat pendasaran di atasnya. Kemudian melihat hasil analisis tentang  hubungan antara rokok dan tubuh. Akhirnya kita bisa membayangkan apa yang akan dikatakan Plato, jika ia masih hidup saat ini. Dengan lantang Plato akan berkata bahwa rokok adalah “kuburan” bagi jiwa manusia. Argumen tersebut secara langsung dapat dijelaskan lebih detail ketika melihat logika pemikiran yang ada di dalamnya. Logikanya demikian: karena rokok adalah kebutuhan tubuh, sedangkan tubuh sendiri adalah penjara bagi jiwa. Maka rokokpun adalah sebuah penjara atau kuburan bagi jiwa manusia.
Penarikan logika di atas mampu dengan jelas menjadi pembuktian bahwa kebutuhan tubuh akan rokok membuat jiwa tidak bebas. Rokok menghalangi manusia untuk mencapai pengetahuan, kearifan atau kebijaksanaan yang sempurna, sesuai dengan apa yang dikatakan Plato dalam teorinya. Dengan kata lain rokok juga semakin menghalangi cita-cita jiwa, yakni kembali ke dalam kerajaan ide-ide. Kebutuhan akan rokok menjadi penjara atau penghambat manusia untuk mencapai kebenaran, karena manusia menjadi “hamba” dari tubuh. Kebutuhan tubuh akan rokok menuntut manusia untuk selalu mendahulukannya, setelah itu terpenuhi baru memenuhi kebutuhan yang jiwa akan pencarian kebenaran dan kebijaksanaan.
Penegasan singkat mengenai letak ketidakbebasan: Berdasarkan penjelasan paragraf sebelumnya, kita bisa menemukan dimana letak ketidakbebasan yang muncul dari hubungan antara rokok dan tubuh. Secara logis, ketidakbebasan tersebut pun terdapat dan dikenakan pada jiwa. Rokok membuat jiwa tidak bebas.
Kita bisa mengambil contoh. Suatu ketika seseorang pecandu rokok yang berprofesi sebagai dosen harus memberikan kuliah kepada mahasiswanya namun kebutuhan akan merokoknya belum terpenuhi sebelumnya. Kita bisa mengkira-kira apa yang terjadi pada dosen tersebut? Tidak tenang, sulit berkonsentrasi, dsb.
Contoh lain lagi ketika seorang bapak rumah tangga, yang juga seorang pecandu rokok. Pada suatu ketika dihadapkan pada dua pilihan yang berbeda. Pilihan pertama bahwa anaknya memerlukan susu bayi. Pilihan kedua kebutuhan untuk mengkonsumsi rokok. Akhirnya ia memilih untuk mendahulukan kebutuhannya untuk membeli rokok. Dari contoh tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa betapa rokok sebagai kebutuhan tubuh sungguh memenjarakan jiwa yang lebih mencari kebijaksanaan dan kearifan.
Kesimpulan dan Tanggapan
Bagian terakhir ini lebih menegaskan kembali argumen awal, bahwa (me)rokok adalah kebutuhan yang memenjarakan manusia, terutama ditinjau dari teori Plato tentang tubuh dan jiwa. Rokok adalah kebutuhan tubuh, karena berkaitan dengan tubuh yang juga menjadi penjara jiwa untuk mencapai kebijaksanaan maka bisa kita simpulkan bahwa rokokpun menjadi penjara atau kuburan bagi manusia.
Sebagai tanggapan kritis, penulis ingin mengkriktik teori Plato mengenai tubuh dan jiwa. Secara tegas penulis tidak setuju dengan argumen Plato yang mengatakan tubuh hanya menjadi penggangu manusia untuk mencapai kebenaran atau kebijaksanaan. Penulis melihat adanya kontradiksi dalam teori tersebut. Bagaimana Plato dengan tegas menolak peran tubuh dalam keberadaan manusia sedangkan di sisi lain dalam mengenali ide-ide abadi, Plato tidak bisa mengingkari bahwa dengan begitu dia pun membutuhkan tubuh untuk mengenali ide-ide. Bagaimana jiwa bisa mengenali ide-ide abadi jika tidak dibantu oleh tubuh untuk menangkap realitas yang ada di dunia, yang kemudian membantunya untuk ingat kembali akan ide-ide abadi yang pernah dilihatnya sebelum masuk kedalam tubuh.
Relevansi yang bisa kita ambil dari semua pembahasan di atas adalah; mari kita mengkritisi kembali keputusan kita yang memilih untuk “dijajah” oleh rokok. Rokok yang sebenarnya justru memperbudak kita, sehingga tidak dapat mencapai kebaikan. Mari kita tanamkan hidup sehat dan bijaksana tanpa rokok!!!.

8 Kebohongan Ibu


CERITA INI dimulai ketika kita masih kecil. Saat kita makan bersama  Ibu, dan kita sangat suka dengan masakan Ibu, tapi saat kita mau menambah, makanan itu sudah habis. Ibu melihat kita dan tersenyum kemudian beliau mulai memindahkan isi mangkuknya ke mangkuk kita, beliau selalu berkata “Makanlah nasi ini anakku. Aku tidak lapar”
Ini adalah kebohongan Ibu yang pertama.
Ketika kita mulai tumbuh dewasa, dengan tekunnya ibu menggunakan waktu luangnya untuk mencari nafkah, berharap bias membelikan kita makanan yang kita suka, yaitu ikan. Ibu memasak ikan tersebut menjadi sup ikan segar yang meningkatkan selera makan kita. Ketika kita memakan ikan tersebut, ibu akan duduk di sebelah kita dan memakan daging sisa ikan tersebut, yang masih menempel pada tulang ikan yang telah kita makan. Kita menggunakan sendok kita dan memberikan potongan ikan yang lain kepadanya. Tetapi beliau langsung menolaknya dengan segera dan mengatakan ” Makanlah ikan itu nak, aku tidak seberapa menyukai ikan.”
Itu adalah kebohongan ibu yang kedua
Kemudian, ketika kita berada di bangku sekolah menengah, untuk membiayai pendidikan kita, ibu pergi membanting tulang membantu menyukupi kebutuhan kita. Pulang bekerja ibu mempersiapkan semua kebutuhan kita, membereskan rumah dengan ketekunannya. Melihat itu kita berucap “Ibu, tidurlah, sekarang sudah malam, besok pagi Ibu masih harus pergi bekerja.” Ibu tersenyum dan berkata “Pergilah tidur, sayang. Aku tidak Lelah.”
Itu adalah kebohongan ibu yang ketiga
Pada saat Ujian akhir, ibu meminta izin dari tempat ia bekerja hanya untuk mengantar kita ke sekolah. Pada saat siang hari dan matahari terasa sangat menyengat, dengan tabah dan sabar ibu menuggu kita dibawah terik sinar matahari untuk beberapa jam lamanya. Dan setelah bel berbunyi, yang menandakan waktu ujian telah berakhir, Ibu dengan segera menyambut kita dan memberikan kita segelas teh yang telah beliau siapkan sebelumnya di botol dingin. kental nya teh terasa tidak sekental kasih sayang dari Ibu, yang terasa sangat kental. Melihat ibu menutup botol tersebut dengan rasa haus, langsung kita memberikan gelasku dan memintanya untuk minum juga. Ibu berkata “Minumlah, nak. Ibu tidak haus!
Itu kebohongan ibu yang ke empat
Karena usia, ayah kita terserang sakit dan mungkin harus menutup kenangan nya di dunia., Ibu kita tersayang harus menjalankan peran nya sebagai orang tua tunggal. dengan mengerjakan tugasnya terlebih dahulu, beliau harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri. Banyak tetangga yang sering membantu kita. Mereka sering menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang sangat keras kepala, tidak memperdulikan nasihat mereka, dia berkata “Saya tidak butuh cinta.”
Itu adalah kebohongan ibu yang ke lima
Setelah kita menyelesaikan pendidikan kita dan mendapatkan sebuah pekerjaan. itu adalah waktu bagi ibu kita untuk beristirahat. Tetapi beliau tetap tidak mau; beliau sangat bersungguh-sungguh mencari nafkah buat kebutuhan ibu sendiri. kita, yang bekerja di kota yang lain, sering mengirimkan beliau sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan nya, tetapi Beliau tetap keras kepala untuk tidak menerima uang tersebut. Beliau sering mengirim kembali uang tersebut kepada kita. Beliau berkata “Saya punya cukup uang”
Itu adalah kebohongan ibu yang keenam
Setelah kita lama bekerja dan sukses di kota lain, bekerja dengan gaji yg lumayan tinggi. kita berniat untuk mengambil Ibu dan mengajak nya untuk tinggal di kota bersama-sama. Tetapi Ibu kita tersayang tidak mau merepotkan anak lelakinya. Beliau berkata kepada kita “Saya tidak terbiasa.”
Itu adalah kebohongan ibu yang ke tujuh
Sewaktu memasuki masa tuanya, ibu terkena sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit. Kita yang terpisah sangat jauh dan terpisah oleh lautan, segera pulang ke rumah untuk mengunjungi ibu kita tersayang. Beliau terbaring lemah di tempat tidurnya selepas selesai menjalankan operasi. Ibu yang terlihat sangat tua, menatap kita dengan tatapan rindu yang dalam. Beliau mencoba memberikan senyum di wajahnya. Meskipun terlihat sangat menyayat dikarenakan penyakit yang dideritanya. Itu sangat terlihat jelas bagaimana penyakit tersebut menghancurkan tubuh ibu kita. Dimana beliau sangat terlihat lemah dan kurus. Kita mulai mencucurkan airmata di pipi dan menangis. Hati kita sangat terluka, teramat sangat terluka, melihat ibu kita dengan keadaan yang demikian. Tetapi ibu, dengan segala kekuatannya, berkata, “Jangan menangis, anakku sayang, Ibu tidak sakit”
Itu adalah kebohongan ibu yang ke delapan.

Mendengar Percakapan Lilin

Ada empat  lilin yang menyala di dalam sebuah kamar, sedikit demi sedikit lilin tersebut habis meleleh dan suasana terasa begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka.
“Aku adalah Damai. Namun manusia tak mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan diriku saja.”
Demikianlah sedikit demi sedikit sang Lilin Damai padam.
“Aku adalah Iman. Sayang aku tak berguna lagi. Manusia tak mau mengenalku, untuk itulah tak ada gunanya aku tetap menyala.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkan Lilin Iman tersebut.
Dengan sedih giliran lilin ketiga berbicara, “Aku adalah Cinta. Tak mampu lagi aku untuk tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapku berguna. Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang mecintainya, membenci keluarganya.” Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah Lilin Cinta tersebut.
Tanpa terduga, anak pemilik rumah itu masuk ke dalam kamar untuk mengambil ‘benda-benda’ miliknya di sana, dan melihat ketiga lilin telah padam. Karena dia tidak bisa melihat jelas dalam gelap, ia berkata : ” Ekh, apa yang terjadi? Kalian harus tetap menyala, Aku tidak mau rumahkuu gelap !”
Dengan mata bersinar, sang anak mengambil Lilin Harapan, lalu menyalakan kembali ketiga Lilin lainnya.
Apa yang tidak pernah mati hanyalah harapan. Harapan yang ada dalam hati kita. Dan masing-masing kita semoga dapat menjadi alat seperti anak tersebut, yang dalam situasi apapun mampu menghidupkan kembali Iman, Damai, Cinta dengan harapannya.

Pertanyaan Imam al-Ghazali

Suatu hari, Imam al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam beliau bertanya beberapa hal. Pertama, “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?. “
Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam al-Ghazali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “Mati”. Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (QS. Ali Imran 185)
Lalu Imam al-Ghazali meneruskan pertanyaan yang kedua. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”.

Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar, ujarnya, adalah “MASA LALU.”
Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
Lalu Imam al-Ghazali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. “Apa yang paling besar di dunia ini?”.
Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “Nafsu” (QS. Al- a’araf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.
Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?”.
Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban sampean benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “memegang AMANAH” (QS. Al Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya.
Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”.
Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam al-Ghazali. Namun menurut beliau yang paling ringan di dunia ini adalah ‘meninggalkan SHALAT’. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan shalat, gara-gara meeting kita juga tinggalkan shalat.
Lantas pertanyaan keenam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”.
Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang. Benar kata Imam al-Ghazali. Tapi yang paling tajam adalah “lidah MANUSIA” [jadi ingat dengan seorang Kyai Haji yang sudah tua tetapi yang kadang-kadang suka ceplas-ceplos yang kurang baik tentang Islam - red, dan semoga kita semua diampuni Allah SWT karena kadang kita lalai dalam menjaga lidah/ucapan kita sendiri]. Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri. sumber. (http://danigunawan.com)