Kamis, 11 November 2010

Rokok sebagai Penjara Jiwa, Telaah dari Filsafat Plato

Tags


 Oleh:Kristoforus Sri Ratulayn K.N.
Mahasiswa Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Tulisan dari Ryadi, Agustinus (ed), Filsafat dan Hal-hal yang Belum Selesai, Sang Timur, Surabaya, 2010.


Bagi sebagian besar orang, rokok telah menjadi kebutuhan yang bahkan disamakan dengan kebutuhan untuk makan dan minum. Kebutuhan akan rokok sudah menjadi kebutuhan yang sangat sentral. Mereka disebut sebagai perokok berat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa rokok telah menjadi “istri” kedua mereka. Dengan demikian bisa kita katakan bahwa kebutuhan akan rokok selalu menuntut seorang perokok untuk mencari dan menghisapnya. Tentu banyak faktor yang harus kita lihat dalam membicarakan masalah ini. Namun dalam pembahasan ini, kita akan melihat bagaimana kebutuhan akan merokok dikritisi atau ditinjau dari sisi filsafat.
Masalah yang ingin dibahas dalam tulisan ini adalah melihat bagaimana kebutuhan tubuh akan rokok jika ditinjau dari sisi filsafat? Kemudian mengkaitkan dengan tema ketidak bebasan macam apa yang ada dibalik fenomena rokok, yang tentunya juga dilihat dari sisi filsafat. Latar belakang pengambilan tema rokok dan kebebasan sebagai bahan penelitian awalnya karena terinspirasi dari mulai maraknya perdebatan tentang rokok, khususnya jika melihat ramainya perdebatan pro-kontra mengenai keputusan dikeluarkannya peraturan daerah tentang larangan merokok. Berdasarkan penjelasan di atas, menjadi jelas bahwa rokok yang sudah menjadi sebuah kebutuhan manusia akhirnya harus berbenturan dengan kewajiban sebagai anggota sebuah masyarakat.
Penulis memiliki sebuah argumen guna menuntun alur pembahasan yang ada dalam tulisan ini. Argumen penulis adalah bahwa dengan merokok, manusia tidak bebas. Penulis akan membagi pembahasan tulisan ini dalam tiga bagian. Pertama, kita akan melihat bagaimana ajaran Plato tentang tubuh dan jiwa. Pada bagian pertama ini kita akan melihat secara detail teori Plato tentang tubuh dan jiwa dari beberapa sumber acuan. Kedua, analisis dengan mengacu pada teori Plato tentang tubuh dan jiwa dengan kaitannya dalam kebutuhan manusia akan (me)rokok. Dengan kata lain kita akan langsung mensintesakan teori Plato tentang tubuh dan jiwa pada bagian pertama tadi dengan analisis gejalah yang terjadi ketika orang mengkonsumsi rokok. Kemudian pada bagian terakhir, ketiga, nantinya adalah sebuah kesimpulan, bahwa rokok merupakan kebutuhan tubuh yang memenjarakan jiwa manusia.

Kerangka Teori
Teori Plato tentang Tubuh dan Jiwa Manusia
Plato (429-437), seorang filsuf terbesar dalam sejarah filsafat Yunani Kuno, lahir dalam sebuah keluarga terkemuka di Athena. Ayahnya bernama Ariston dan ibunya bernama Periktione.[1] Ia adalah salah seorang teman diskusi Sokrates. Plato menjadi salah seorang filsuf terbesar sepanjang sejarah filsafat, karena ia membuka tema-tema pembicaraan abadi dalam filsafat. Bahkan sampai muncul sebuah argumen bahwa filsafat selanjutnya hanyalah catatan kaki dari filsafat Plato[2].
Semasa hidupnya ia sangat produktif dalam hal menulis. Semua tulisannya selalu berbentuk dialog. Hal ini karena mungkin dipengaruhi oleh Sokrates yang terkenal sangat membenci tulisan. Sehingga akhirnya Plato pun akhirnya mencoba membuat sebuah sintesis antara tulisan dan lisan. Beberapa karya utamanya dalam filsafat mencakup Protagoras, Gorgias, Meno, Apology, Phaedo, Crito, Republic, Parmenides, Theatetus, Sophist, dan, laws[3].
Ajaran filsafat Plato yang terkenal adalah mengenai ide-ide dan tentang dualisme dari manusia. Bagi Plato kenyataan sesungguhnya hanya ada dalam dunia. Sedangkan realitas yang ada di dunia hanyalah sekedar bayangan dari ide-ide[4]. Ajaran Plato mengenai ide-ide juga diterapkan dalam ajarannya mengenai dualisme manusia.
Dualisme Plato memandang bahwa manusia terdiri dari dua hakikat yang berlainan, tubuh dan jiwa. Tubuh mempunyai sifat yang rapuh, mudah berubah, dan tidak tetap. Hal ini nantinya sejalan dengan perbandingan antara ide-ide abadi dengan realitas di dunia yang selalu berubah.  Sedangkan jiwa adalah sesuatu yang kasat mata, tetap dan abadi. Plato berargumen karena jiwa mampu mengenali ide-ide, maka jiwapun mempunyai sifat-sifat yang sama dengan ide-ide. Jiwa selalu mempunyai kerinduan untuk mencapai kearifan dan kebijaksanaan.
Bagi Plato tubuh adalah kuburan bagi jiwa (soma-sema). Dalam artian, jiwa sudah ada di suatu tempat yang penuh dengan kearifan sebelum dilahirkan. Dunia inilah tempat kediaman jiwa yang sesungguhnya. Pada suatu ketika jiwa mengalami inkarnasi dan masuk ke dalam tubuh. Jadi dunia yang sekarang ditempati jiwa ketika masuk ke dalam tubuh bukanlah tempat tinggal jiwa[5]. Hal inilah yang menjadi penegas dari dualime Plato.
Tubuh yang mempunyai sifat rapuh, tidak tetap, dan selalu berubah menjadi penghalang bagi jiwa untuk mencapai kearifan dan kebijaksanaan. Karena sifatnya yang tidak tetap dan selalu berubah itulah muncul argumen dari Plato bahwa tubuh akan “membingungkan” manusia dalam usaha mencari kebenaran[6].
Kerinduan jiwa adalah terbebas dan pulang kembali memasuki dunia ide-ide Menurut Plato berfilsafat berkaitan hanya dengan pikiran atau jiwa. Untuk hal tersebut manusia harus berusaha sebisa mungkin melepaskan diri dari belenggu tubuh yang memenjarakannya. Memenjarakan berarti menuntut manusia untuk selalu memenuhi kebutuhan tubuh, bersenang-senang dan “memuja” tubuh.
Dalam bukunya yang berjudul Faedo, Plato menambahkan bahwa yang diperlukan untuk memasuki kawasan entitas ide-ide hanyalah jiwa. Sedangkan jiwa bernalar paling indah, ketika tidak satu pun dari hal-hal yang ragawi, seperti pendengaran, penglihatan, duka cita ataupun kesenangan, menghalanginya untuk mencapai kebenaran. Dengan meninggalkan tubuhnya manusia akan mampu menemukan hakikat segala sesuatu[7]. Seperti sudah kita ketahui bahwa tubuh mempunyai sifat mengarahkan seseorang untuk mencari kesenangan, misalnya makan dan minum. Manusia yang terlalu terpengaruh oleh tubuh akan menjadi pemuja tubuh. Inilah yang sungguh menjadi penghambat bagi jiwa untuk mampu bernalar hingga mencapai kearifan dan kebijaksanaan.
Berikut sebuah kutipan dari salah satu karya Plato yang berjudul Faedo, yang menyatakan secara jelas bagaimana Plato menyangkali peran konstruktif apapun dari tubuh manusia dalam usaha mencapai kebenaran yang hakiki:
“Selama kita memiliki tubuh yang menemani argumen yang kita kembangkan dalam penyelidikan kita, dan jiwa kita tercampur dengan hal jahat semacam ini, kita tidak akan pernah mendapatkan apa yang kita inginkan”[8].
Kita bisa mengambil sebuah contoh yang kiranya dapat membantu kita untuk lebih mudah memahami ajaran Plato tentang tubuh dan jiwa, khususnya berkaitan dengan tubuh sebagai penghalang jiwa mncapai kebijaksanaan. Suatu ketika seorang mahasiswa mengalami sakit panas yang memaksanya harus beristirahat untuk beberapa minggu. Padahal ia harus belajar dan memahami materi ujian yang akan dia hadapi. Dengan demikian nampak secara langsung bahwa tubuh menghalangi jiwa untuk bernalar dan mencapai kebijaksanaan.

Analisis Tema
Pada bagian ini kita akan mengulas lebih dalam mengenai kebutuhan akan merokok dengan kebebasan. Dimana letak hubungan antara rokok dan tubuh sehingga dikatakan menjadikan tidak bebas?
Jelaslah bahwa rokok adalah kebutuhan tubuh. Tubuhlah -yang karena efek nikotin- membuat manusia ketagihan untuk mengkonsumsinya. Jika tidak merokok dalam waktu lama, tubuh akan mengalami kesemutan di lengan dan kaki, berkeringat dan gemetar, gelisah, susah konsentrasi, sulit tidur, lelah atau pusing. Bahkan terkena resiko-resiko penyakit seperti penyakit jantung, kanker paru-paru, osteoporosis, katarak, dan masih banyak lagi.[9] Dengan bahasa lain kita bisa mengatakan, bahwa seorang pecandu rokok harus menghisap rokok secara rutin. Rokok adalah kebutuhan tubuh.
Tubuh yang sudah mulai kecanduan rokok selalu menuntut pemilik tubuh tersebut untuk selalu menghisapnya. Orang menjadi tidak bebas lagi untuk menguasai tubuhnya. Entah tiap jam atau menit tubuh memerlukan rokok untuk “menstabilkan” kondisinya. Artinya menjadi semacam sebuah pelarian sementara untuk menenangkan diri bagi mereka yang sudah kecanduan rokok.[10] Jika mau dilihat dari sisi psikologis, maka mungkin dari sini juga bisa disimpulkan orang menjadi tidak bebas lagi.
Setelah kita melihat teori Plato tentang tubuh dan jiwa, lalu membuat pendasaran di atasnya. Kemudian melihat hasil analisis tentang  hubungan antara rokok dan tubuh. Akhirnya kita bisa membayangkan apa yang akan dikatakan Plato, jika ia masih hidup saat ini. Dengan lantang Plato akan berkata bahwa rokok adalah “kuburan” bagi jiwa manusia. Argumen tersebut secara langsung dapat dijelaskan lebih detail ketika melihat logika pemikiran yang ada di dalamnya. Logikanya demikian: karena rokok adalah kebutuhan tubuh, sedangkan tubuh sendiri adalah penjara bagi jiwa. Maka rokokpun adalah sebuah penjara atau kuburan bagi jiwa manusia.
Penarikan logika di atas mampu dengan jelas menjadi pembuktian bahwa kebutuhan tubuh akan rokok membuat jiwa tidak bebas. Rokok menghalangi manusia untuk mencapai pengetahuan, kearifan atau kebijaksanaan yang sempurna, sesuai dengan apa yang dikatakan Plato dalam teorinya. Dengan kata lain rokok juga semakin menghalangi cita-cita jiwa, yakni kembali ke dalam kerajaan ide-ide. Kebutuhan akan rokok menjadi penjara atau penghambat manusia untuk mencapai kebenaran, karena manusia menjadi “hamba” dari tubuh. Kebutuhan tubuh akan rokok menuntut manusia untuk selalu mendahulukannya, setelah itu terpenuhi baru memenuhi kebutuhan yang jiwa akan pencarian kebenaran dan kebijaksanaan.
Penegasan singkat mengenai letak ketidakbebasan: Berdasarkan penjelasan paragraf sebelumnya, kita bisa menemukan dimana letak ketidakbebasan yang muncul dari hubungan antara rokok dan tubuh. Secara logis, ketidakbebasan tersebut pun terdapat dan dikenakan pada jiwa. Rokok membuat jiwa tidak bebas.
Kita bisa mengambil contoh. Suatu ketika seseorang pecandu rokok yang berprofesi sebagai dosen harus memberikan kuliah kepada mahasiswanya namun kebutuhan akan merokoknya belum terpenuhi sebelumnya. Kita bisa mengkira-kira apa yang terjadi pada dosen tersebut? Tidak tenang, sulit berkonsentrasi, dsb.
Contoh lain lagi ketika seorang bapak rumah tangga, yang juga seorang pecandu rokok. Pada suatu ketika dihadapkan pada dua pilihan yang berbeda. Pilihan pertama bahwa anaknya memerlukan susu bayi. Pilihan kedua kebutuhan untuk mengkonsumsi rokok. Akhirnya ia memilih untuk mendahulukan kebutuhannya untuk membeli rokok. Dari contoh tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa betapa rokok sebagai kebutuhan tubuh sungguh memenjarakan jiwa yang lebih mencari kebijaksanaan dan kearifan.
Kesimpulan dan Tanggapan
Bagian terakhir ini lebih menegaskan kembali argumen awal, bahwa (me)rokok adalah kebutuhan yang memenjarakan manusia, terutama ditinjau dari teori Plato tentang tubuh dan jiwa. Rokok adalah kebutuhan tubuh, karena berkaitan dengan tubuh yang juga menjadi penjara jiwa untuk mencapai kebijaksanaan maka bisa kita simpulkan bahwa rokokpun menjadi penjara atau kuburan bagi manusia.
Sebagai tanggapan kritis, penulis ingin mengkriktik teori Plato mengenai tubuh dan jiwa. Secara tegas penulis tidak setuju dengan argumen Plato yang mengatakan tubuh hanya menjadi penggangu manusia untuk mencapai kebenaran atau kebijaksanaan. Penulis melihat adanya kontradiksi dalam teori tersebut. Bagaimana Plato dengan tegas menolak peran tubuh dalam keberadaan manusia sedangkan di sisi lain dalam mengenali ide-ide abadi, Plato tidak bisa mengingkari bahwa dengan begitu dia pun membutuhkan tubuh untuk mengenali ide-ide. Bagaimana jiwa bisa mengenali ide-ide abadi jika tidak dibantu oleh tubuh untuk menangkap realitas yang ada di dunia, yang kemudian membantunya untuk ingat kembali akan ide-ide abadi yang pernah dilihatnya sebelum masuk kedalam tubuh.
Relevansi yang bisa kita ambil dari semua pembahasan di atas adalah; mari kita mengkritisi kembali keputusan kita yang memilih untuk “dijajah” oleh rokok. Rokok yang sebenarnya justru memperbudak kita, sehingga tidak dapat mencapai kebaikan. Mari kita tanamkan hidup sehat dan bijaksana tanpa rokok!!!.