Selasa, 31 Mei 2011

Kekuatan yang Harus Tunduk pada Akal

Tags

oleh; M Said Marsaoly
Dari mana sebenarnya kebenaran bersumber? Dari kenyataan atau dari satu dunia di atasnya? Benarkah imajinasi menjadi sumber dasarnya? Lalu di mana akal, di mana pengetahuan? Benarkah ”imajinasi lebih penting dari pengetahuan”?
Ruang imajinatif memang telah menjadi kamar tersendiri dalam rumah besar bernama pengetahuan. Baik rumah yang berfondasi indera maupun yang berdasar rasio. Seluruhnya menerima imajinasi sebagai anak kandung yang amat disayangi bahkan selalu dipuji dan diagungkan. Namun, sekali lagi, benarkah karena itu imajinasi lebih penting dari pengetahuan?
Tulisan ini memang tergelitik oleh tulisan lain di rubrik ini, dari Bagus Takwin (Kompas, 6/12/2008) yang meminjam ungkapan Einstein, ”imajinasi lebih penting dari pengetahuan”. Tulisan yang seakan telah merepresentasikan teori masyhur Einstein, E=mc². Bahwa, menurut Takwin, imajinasilah yang membawa Einstein pada pemahaman tentang relativisme gerak. Kita akan periksa ini.
Tempat istimewa
Imajinasi memang telah mendapat tempat yang istimewa dalam kesusastraan dan seni. Namun meletakkan imajinasi sebagai instrumen memperbarui kebenaran adalah hal yang (memiliki konsekuensi) tersendiri. Dari mana sebenarnya asal kebenaran? Dengan instrumen apa manusia mengenali kebenaran? Dan apakah kebenaran mengalami perubahan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah menyedot perhatian berbagai kalangan dari dulu hingga kini dan ”kebenaran” tinggal menjadi misteri filsafat hingga saat ini. Hal itu akan semakin kompleks bahkan khaotis bila pengetahuan manusia tidak mampu membedakan antara konsepsi dan afirmasi (gagasan dan penilaian). Dalam filsafat Islam, keduanya dikenal dengan tasawwur dan tasdiq.
Bukankah dua persoalan itu telah menelurkan dua gagasan besar dalam jagat filsafat? Dan bukankah munculnya rasionalisme dan empirisme terbukti tidak mampu keduanya sebagai sumber pokok pengetahuan.
Imajinasi menuju persepsi
Dalam epistemologi, imajinasi ditempatkan pada urutan kedua setelah indera sebagai perangkat dasar pengetahuan. Hal itu disebabkan imajinasi tidak dapat berdiri sendiri. Imajinasi dapat bekerja setelah indera mempersepsi obyek tertentu. Obyek itu kemudian tersimpan dalam benak manusia dalam bentuk imateriil.
Karena itu, imajinasi hanya dapat mendeskripsikan sesuatu meskipun indera telah terputus dari realitas material. Namun, ia tidak dapat menetapkannya sebagai sebuah pengetahuan baru. Maka, proses kreativitas manusia dalam dunia obyek (world of objects) adalah kesimpulan dan ketetapan akal bukan imajinasi.
Misalnya, pertanyaan kita kenapa burung dapat terbang? Pertanyaan ”kenapa” adalah ciri akal-rasional. Bukankah dalam imajinasi tidak dapat menetapkan kausalitas? Ia adalah konsepsi primer yang muncul dalam akal.
Dalam tradisi pemikiran Islam biasanya diterima tiga tingkat pemikiran manusia. Dan rasionalitas atau logika ada di tingkat pertama. Yang kedua adalah hal yang bersifat spiritual, rohaniah. Yang ini terkait dengan perasaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan. Di antara keduanyalah terletak imajinasi.
Filosof seperti Mullah Sadra (1571-1640) menyebut, persepsi tentang dunia fisik eksternal, penglihatan misalnya, terjadi ketika jiwa mempersepsi. Kemudian jiwa menciptakan bentuk imateriil yang sama dengan obyek eksternal melalui iluminasi akal aktif, ketika organ penglihatan dan segala kondisi yang dipersyaratkan terpenuhi. Bentuk ini kemudian hadir dalam jiwa perseptif: jiwa memahami melalui pengetahuan akan kehadiran (Inggris: Knowledge by presence, Arab: Al-’ilmu Al-Huduri). Artinya: jiwa memahami dengan kesadaran.
Kehadiran itu seperti perbuatan bagi seorang pelaku. Bentuk yang diciptakan oleh jiwa ini tidak selamanya hanya menjadi penyempurnaan sekunder, tetapi selanjutnya justru jiwa ”menjadi” bentuk tersebut. Jiwa berubah dari tidak mengetahui menjadi mengetahui (al-hikmah Al-muta’aliyyah, Vol 9 halaman 285).
Imajinasi dan akal-rasional
Imajinasi rasional-logis oleh filosof Muslim biasanya disampaikan lewat bahasa yang mengandalkan pada tata bahasa (grammar) yang teratur dan urut-urutan logis. Yang spiritual, kata sebagian orang—termasuk Al-Ghazali—tak bisa diungkapkan secara rasional. Namun, beberapa sufi tertentu mencoba mengungkapkannya.
Termasuk di dalamnya yang amat terkenal dan produktif dalam mengungkapkan perasaan-perasaan keagamaannya adalah Ibn ’Arabi.
Terkait relasi imajinasi dan akal-rasional, Muhammad Baqir Sadar (1935-1980) dalam bukunya, Falsafatuna—setelah mengulas pendapat para filosof mengenai perbedaan sumber-sumber pokok pengetahuan—menyajikan sebuah teori yang khas dalam filsafat Islam yang disebut ”Teori Disposesi” (nazhariyyah al-intiza’).
Teori ini terangkum dalam pembagian konsepsi primer dan sekunder. Konsepsi primer adalah dasar konseptual bagi akal manusia. Ia lahir dari persepsi inderawi secara langsung beserta segala hal yang dikandungnya. Misalnya konsepsi kita tentang rasa, warna, bau, panas, dan lain-lain. Bagi Baqir Sadar, persepsi inderawi menjadi awal munculnya konsepsi itu. Ia menciptakan ide tentang hal itu dalam akal manusia.
Baqir Sadar percaya bahwa dari ide-ide tersebut terbentuklah kaidah pertama (primer) tentang konsepsi. Dengan dasar itu, akal kemudian memunculkan konsepsi sekunder. Dengan demikian, mulailah daur penciptaan inovasi dan konstruksi. Inilah yang diistilahkan dengan kata intiza’ (disposesi). Dalam kalimat lain, teori disposesi adalah pertemuan fakta obyektif dengan konsep akal.
Lalu di manakah posisi imajinasi? Imajinasi berada di antara keduanya. Ia menjadi sumber konstruksi, tetapi bukan ia sendiri yang mengonstruksi kebenaran. Kebenaran hanya dapat dikonstruksi oleh akal.
Wilayah imajinasi ada dalam dunia ide, bukan pada fakta obyektif. Karena itu, kebenaran saintifik dan kebenaran imajinatif amat jauh berbeda. Namun bukan berarti keduanya tidak dapat bertemu.
Pertemuan keduanya terjadi di dunia imajinasi, sementara dalam dunia obyektif indera dan akallah yang bekerja sama. Di sinilah terjadi ”generalisasi” sebagai output yang saintifik. Dan bukankah ”generalisasi” itu sendiri adalah simpulan akal?
Itulah sebabnya para filosof Muslim percaya bahwa daya imajinasi harus ditempatkan di bawah kendali daya rasional. Jika dilepaskan dari daya rasional, daya imajinasi berisiko kehilangan kendali dan sekaligus kehilangan akses kepada realitas otentik yang ada di alam imajinasi.
//sumber kompas.com