Oleh Agni Rahadyanti
Tiap manusia umumnya tak memungkiri bahwa keberadaannya di dunia ini tak terlepas dari campur tangan Tuhan, Sang Pencipta yang membuatnya ada. Kemanusiaannya pun menjadi sempurna ketika hidup menyatu dengan alam, dunia di sekitarnya. Namun, seiring perjalanan hidupnya, manusia tak selamanya mampu merasakan kehadiran Tuhan.
Tiap manusia umumnya tak memungkiri bahwa keberadaannya di dunia ini tak terlepas dari campur tangan Tuhan, Sang Pencipta yang membuatnya ada. Kemanusiaannya pun menjadi sempurna ketika hidup menyatu dengan alam, dunia di sekitarnya. Namun, seiring perjalanan hidupnya, manusia tak selamanya mampu merasakan kehadiran Tuhan.
Eksistensi Tuhan pun terus dipertanyakan. Kesengsaraan. Itulah situasi yang tampaknya paling banyak membuat manusia mempertanyakan keberadaan Tuhan yang dalam ajaran berbagai agama begitu diyakini sebagai pengayom, pelindung, dan pengatur hidup manusia. Orang akan bertanya, di mana Tuhan ketika penderitaan menimpaku? Mengapa Tuhan tidak menolong ketika bencana datang?
Pertanyaan lebih kritis yang sering didiskusikan dalam pembahasan- pembahasan teologis adalah mengapa orang-orang baik harus mengalami kejahatan? Mengapa orang benar yang saleh harus tersiksa hidupnya? Ambil contoh, mengapa Tuhan tidak menyelamatkan semua penumpang yang ada dalam pesawat Garuda yang mengalami kecelakaan hebat di Yogyakarta tahun lalu. Atau, penduduk di berbagai wilayah Jawa Timur mana yang bisa memilih untuk tidak terseret arus banjir atau tertimbun tanah longsor akhir tahun lalu.
Semua orang bisa terkena musibah, tidak peduli latar belakang sosial atau bagaimana kehidupannya sehari-hari. Tindak kriminal seperti perampokan, pembunuhan, atau pemerkosaan tidak hanya menimpa orang jahat saja. Para pejuang yang punya dedikasi bagi dunianya, sebut saja Mahatma Gandhi, atau bahkan Munir, tewas dibunuh. Balasan yang rasanya tak setimpal dengan apa yang sudah mereka berikan semasa hidup.
Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Budhi Munawar Rachman berpendapat, Tuhan sama sekali tidak terlibat dalam segala kejadian buruk yang menimpa manusia. Terinspirasi dari berbagai materi perkuliahan yang didapatnya dari profesor filsafat dan ahli teologi Louis Leahy di STF Driyarkara, Budhi menyusun pendapatnya itu dalam tulisan Tuhan dan Masalah Penderitaan, yang terdapat dalam buku Dunia, Manusia, dan Tuhan yang diterbitkan oleh Penerbit Kanisius tahun 2008. Menurut Budhi, dalam kehidupannya manusia perlu menyadari bahwa hukum alam yang melingkupinya bukan hanya memberi kesan keteraturan, melainkan juga bisa menyebabkan malapetaka bagi manusia.
Ia mencontohkan, hukum gravitasi juga bisa menyebabkan penduduk yang sedang berada di pantai terempas dan meninggal akibat tsunami, seperti yang terjadi di Aceh atau di pantai-pantai lain di Asia. Kita tidak bisa hidup tanpa gravitasi dan hukum-hukum alam lainnya, tetapi hidup dengan hukum alam berarti kita juga dikelilingi begitu banyak bahaya yang menyebabkan penderitaan, kata Budhi dalam tulisannya.
Di sisi lain, manusia memiliki kebebasan untuk mengelola kehidupannya sendiri. Tuhan pun membebaskan manusia untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, seperti yang diyakini Leahy sebagai kekhasan etika agama monoteistik. Hal tersebut menimbulkan dua konsekuensi, yaitu Tuhan tidak akan mencampuri kehidupan manusia agar manusia benar-benar memiliki kebebasan. Manusia pun bebas untuk memilih merusak dirinya sendiri. Sebagai makhluk yang merdeka secara moral, manusia juga bertanggung jawab atas kehidupan yang sudah diberikan kepadanya. Leahy juga percaya bahwa Tuhan selalu ada, bahkan dalam berbagai bencana alam yang menyengsarakan manusia. Tuhan prihatin dengan musibah alamiah tersebut, tetapi tidak bisa ikut campur.
Ia sudah memberi kebebasan kepada hidup manusia dan memberikan hukum alam yang membuat hidup ini bisa teratur, manusia bisa terus belajar berbuat kebaikan, mengembangkan diri, dan merealisasi apa yang menjadi tujuan hidupnya, tutur Budhi mengutip pendapat Leahy. Seperti ungkapan yang diyakini banyak orang Jawa, Gusti ora sare. Tuhan tidak tidur ketika manusia menjalani semua kehidupannya. Persepsi manusialah justru yang menentukan pemaknaan keberadaan Tuhan. Psikologi rasa bersalah yang berkembang dewasa ini terkadang juga menambah penderitaan manusia. Sering kali manusia menyalahkan diri sendiri secara berlebihan atas segala musibah yang menimpanya.
Tak jarang manusia menciptakan sendiri rasa bersalah, amarah, kecemburuan, iri hati, maupun dengki yang semakin menambah kesengsaraannya. Satu hal yang menarik, keberadaan Tuhan sering kali tidak dipertanyakan ketika manusia berada dalam situasi yang membahagiakan. Tuhan acap kali tak masuk hitungan ketika manusia terlalu berfokus pada kemampuan diri sendiri. Kebahagiaan yang bahkan begitu mudah ditemukan ketika ungkapan syukur dipanjatkan pun akan senantiasa terlewat.
Selain penderitaan manusia tak bersalah yang sering disebut sebagai masalah kejahatan dalam Filsafat Ketuhanan, Dunia, Manusia, dan Tuhan juga menyertakan 11 esai lainnya yang ditulis khusus untuk mengapresiasi pemikiran Louis Leahy dan merayakan ulang tahunnya yang ke-80, 19 Agustus tahun lalu. Berbagai hal, seperti hubungan antara lingkungan hidup dan teologi, sains dan agama, sesuatu yang tersembunyi di balik fenomena empirik dan intramundan dari jagat raya, filosofis manusia, pandangan keimanan manusia, dan pemikiran filsafat eksistensialisme dalam merefleksikan pengalaman akan Allah dituangkan 12 penulis dalam buku setebal 293 halaman ini.
Selain Budhi Munawar Rachman, penulis lain yang menyumbangkan karyanya adalah Martin Harun, Zainal Abidin Bagir, J Sudarminta, Karlina Supelli, M Sastrapratedja, SP Lili Tjahjadi, Franz Magnis Suseno, A Sunarko, Martin L Sinaga, Alex Lanur, dan Thomas Hidya Tjaja.
Meski membicarakan berbagai pemikiran filsafat dalam bahasa akademis yang terkadang kurang familier bagi masyarakat awam, buku ini bisa menjadi media penambah wawasan bagi mereka yang ingin berkenalan dengan filsafat. Buku ini juga menarik karena mengajak pembaca memahami dirinya serta kemanusiaan manusia itu sendiri.
//sumber kompas.com