Oleh Indra Gunawan M*
Dua nama ini adalah orang besar dalam sejarah. Aristoteles, hidup sekitar 300 tahun sebelum Masehi, adalah filsuf yang bersama Socrates dan Plato meletakkan dasar-dasar filsafat Barat. Pandangan Aristoteles jadi dogma filsafat skolastik.
Sementara Siddharta Gautama adalah pangeran yang meninggalkan istana untuk menghayati derita dan duka kehidupan. Lewat kontemplasi dan semadi berkepanjangan di bawah pohon bodhi, ia jadi orang yang tercerahkan (Buddha). Ia hidup sekitar 200 tahun sebelum Aristoteles.
Kedua tokoh mempunyai sistem kepercayaan dan logika berbeda dalam memandang persoalan. Menarik mengkaji pendekatan mereka terhadap berbagai persoalan aktual, khususnya yang kontroversial, seperti kasus Bibit-Chandra, Anggodo, Antasari, Century, Sri Mulyani, atau Susno Duadji.
Adapun kajian ”Fuzzy Logic” atau ”Logika Samar” (baca misalnya ”Fuzzy Thinking”, Bart Kosko, Hyperion, 1993) coba mengontraskan perbedaan kedua pendekatan. Dalam pandangan dunia, Aristoteles yang dikenal adalah bivalensi, dua nilai, benar atau salah, hitam atau putih, positif atau negatif, siang atau malam, A atau bukan A.
Tidak ada tempat untuk semu atau abu-abu, perbauran di antara keduanya. Sementara logika Buddha menerima adanya multivalensi atau banyak nilai. Di antara putih sampai hitam ada sekian banyak kemungkinan gradasi warna. Dari nol hingga angka satu ada begitu banyak bilangan pecahan yang menggambarkan berbagai derajat perkembangan.
Ada celah yang sukar disebut siang atau malam di tengah remangnya senja atau samarnya fajar. Logika Aristoteles lebih dominan diterima di Barat. Mereka lebih menghargai kepastian di tengah ketidakpastian seperti dalam aritmatik sederhana (2+2>4) dan kurang menghargai kontradiksi atau paradoks.
Namun, tak semua orang Barat berpikir dalam kerangka dikotomi. Misalnya, Heraclitus, filsuf Yunani yang hidup 500 sebelum Masehi. Ia dikenal dengan ucapannya, ”Segala sesuatunya berubah, kecuali perubahan itu sendiri”.
Sebagian perubahan dapat diprediksi, sebagian lain berlangsung acak, tak dapat dipahami atau dikenali. Epigram lain, ”Segala yang bertentangan mendatangkan manfaat” atau ”Jalan turun dan jalan naik adalah satu dan sama”. Atau Einstein yang pernah mengutarakan, ”Sejauh hukum matematika menunjuk ke realitas, maka dia tidak pasti. Dan sejauh dia pasti, dia tak merujuk ke realitas”. Logika samar tampak dalam ungkapan di atas.
Simplisitas atau akurasi
Logika Buddha ”Fuzzy Logic” lebih dulu dikenal di dunia Timur. Selain dalam ajaran Buddha, juga ditemukan pada Zen dan Taoisme yang menyukai teka-teki dan paradoks kehidupan. Yin dan Yang bukan sekadar dua hal berbeda, melainkan satu keniscayaan yang saling melengkapi, komplementer. Dalam Yin terdapat Yang dan sebaliknya.
Oleh pengaruh pendidikan yang diterima di sekolah, kebanyakan kita lebih terbingkai dalam logika Aristoteles. Kita perlu pegangan atau kepastian di tengah kegalauan agar hidup lebih lancar. Kalau perlu persoalan disederhanakan untuk menghindari keruwetan yang tak perlu. Buat sebagian, di mana persoalan sudah terang benderang seperti dalam aritmatika sederhana, sikap itu dapat dibenarkan.
Namun, untuk persoalan kompleks dan penuh kontroversi seperti contoh di atas (Bibit-Chandra, Susno Duadji, Sri Mulyani, dan sebagainya) pendekatan komprehensif dari berbagai kajian lebih menghasilkan presisi.
Sikap tak berpihak, obyektif untuk menemukan akurasi dengan berpegang pada kepentingan umum agaknya perlu dikedepankan. Yang jadi persoalan, kata ”kepentingan umum” sudah diklaim para pihak yang bersengketa. Kalau kita mulai memahami logika Buddha, tampaknya orang tak akan mudah terjebak dalam dikotomi yang gencar dikembangkan sebagian politisi.
Mereka lewat ”layar kaca” (TV) atau media lain berusaha membentuk opini publik berdasar sikap subyektif, apriori, perasaan suka atau tak sukanya. Sudah tentu argumentasinya dibungkus lewat ”data” dan ”fakta” yang disaring lewat kacamata kelompoknya sendiri.
Dengan ”Fuzzy Logic”, kita akan lebih teliti dan kritis mengikuti rekam jejak mereka yang memakai standar ganda. Di satu pihak, mereka lantang menyerukan berantas korupsi khususnya yang disangkakan terhadap lawan politiknya. Sementara di pihak lain, mereka kuncup atau diam seribu bahasa jika tuduhan menimpa kelompoknya.
Secara ringkas, bivalensi dalam Aristoteles bertumpu pada dua pilihan ”ini” atau ”itu”. Ibarat sebuah film, pelaku lelakonnya terbagi hanya dua: ”orang baik” dan ”orang jahat”. Sementara multivalensi dalam Logika Samar mencoba melihat nuansa-nuansa dalam menangkap kebenaran ada ”orang baik tetapi ada cacatnya” dan ”orang jahat tetapi ada segi baiknya”. Tak ada yang sempurna.
”Fuzzy Logic” ini tak hanya bergerak di tataran teori, sistem kepercayaan atau filsafat, melainkan membumi terkait dunia praktis yang menghasilkan produk-produk. Lewat prinsip dan sistem ”Fuzzy Logic”, sejumlah perusahaan seperti Matsushita, Mitsubishi, Sharp, Hitachi, Samsung, dan Daewoo telah mampu menghasilkan produk yang sanggup melakukan penyesuaian, tidak terbatas pada dua pilihan.
AC yang bekerja terlalu lama dan kelewat dingin akan otomatis berhenti sementara untuk kemudian menyala kembali kalau suhu naik melewati ambang batas yang ditentukan. Atau mesin cuci yang mampu secara adaptif menyelaraskan diri sesuai tingkat kekotoran, jenis tekstil, serta beban dan volume pakaian yang harus dibersihkan.
Tampaknya, ”Fuzzy Logic” adalah pendekatan menarik dan penting dalam mengubah pola pikir bukan saja dalam mencari kebenaran kasus, melainkan juga dalam menciptakan produk inovatif yang lebih canggih dan lebih bermutu.
*Indra Gunawan M, Penulis Buku Kisah-Kisah Kebijaksanaan Zen
//sumber kompas.com